Tulisan Berjalan

اللهم صل على سيدنا محمد

Kamis, 23 Mei 2013

PERJALANAN HIDUP SANG HUJJATUL ISLAM


Imam al-Ghazali sosok ulama dengan keilmuan yang komprehensif (jami’ mani’). Semua cabang keilmuan telah ditulisnya, dan puncak keilmuan beliau telurkan kitab tasawuf kepada kita seperti Bidayah Hidayah, Minhaj al-Abidin dan Ihya Ulumuddin yang banyak ditelaah muslim di dunia.  Bahkan dalam sebuah hikayat sufi, al-Ghazali telah dijamin masuk surga bukan karena keilmuan atau ibadahnya kepada Allah, namun karena al-Ghazali pernah membiarkan seekor lalat minum di wadah tintanya.
Al-Ghozali tidak hanya sekedar ulama ahli fiqih tetapi juga seorang teolog, filsuf, seorang orator yang hebat, ahli retorika yang dahsyat sekaligus penulis Islam yang produktif, outentik serta representative. Pribadi memukau beliau adalah buah dari doa sang ayah yang selalu istiqomah dalam menghadiri forum majelis ilmu dan bersahabat dengan para ulama. Di suatu waktu, ayah beliau berdoa “Ya Allah, karuniakanlah aku anak-anak yang shalih seperti para ulama dan wali itu”. Berkat keikhlasan doa yang sering ia panjatkan itulah, ia di karuniai anak Muhammad al-Ghozali dan Ahmad al-Ghozali yang keduanya menjadi ulama terkemuka.
Muhammad al-Ghozali sendiri lahir di Ghozalah sebuah kota kecil dekat kota Thuus di daerah Khurasan pada tahun 450 H atau 1058 M. Sang ayah yang shalih dan bersih hatinya mendidik anaknya dasar-dasar agama, membaca al-Qur’an dan akhlak yang baik. Terlepas itu beliau juga membawa sang anak hadir dalam berbagai majelis para ulama guna berinteraksi dengan kaum sholihin dan mendapatkan ilmu serta doa dari mereka. Namun tak lama kemudian sang ayah sakit parah dan wafat. 
Semangat sang Ayah yang besar untuk menjadikan anaknya sebagai kader yang berkualitas. Untuk merealisasikan cita-citanya, sang Ayah menitipkan mereka kepada seorang sufi berilmu tinggi sekaligus temannya sendiri yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian ketika perbekalan habis, sang guru mengalami kondisi kritis, maka mereka dititipkan kepada lembaga pendidikan yang menyediakan beasiswa agar segala kebutuhan hidup mereka terjamin. Di tempat itulah kedua bersaudara tersebut mampu menyerap ilmu dengan mudah tanpa ada sesuatu yang membebani mereka.
Sejak kecil Imam al-Ghozali telah menampakkan bakat yang mendarah daging dan kemauan yang tinggi. Ia selalu belajar dengan tekun dan selalu meraih prestasi terbaik di kelasnya. Di sekolahnya ia belajar kepada para guru dan para ilmuwan dengan berbagai karakter dan latar belakang pemikiran yang berbeda.  Namun satu diantara guru yang dikagumi adalah Syekh Yusuf as-Sajjaj. Setelah lulus dari jenjang pendidikan, Imam al-Ghozali melanjutkan pendidikannya ke kota Jurjan, sebagai sentral ilmu pengetahuan dan kegiatan ilmiyah. Ulama yang  bernama Abu Nasr Al-Isma’ili mengajarkan ilmu agama dan ilmu bahasa kepadanya. Setelah itu al-Ghozali pergi ke kampung halaman.
Dalam sebuah Ta’liqoh’ (catatan keilmuan Imam Al-Ghozali semasa mencari ilmu) diceritakan, kala itu di tengah perjalanan beliau bersama khafilah, di hadang oleh perampok dan semua barang bawaan dirampas. Ketika para perampok bergegas pergi, Imam al-Ghozali tidaklah menghawatirkan harta bendanya melainkan ta’liqoh yang terdapat di dalam tas. Maka bergegaslah beliau mengejar dan mengikuti mereka hingga salah satu dari mereka berkata “ Pergilah ! Pulanglah! Jangan ikuti kami atau kau kami bunuh!” Beliau berkata “Demi Allah Tidak, aku hanya meminta dari kalian satu permintaan, kembalikan Ta’liqoh yang berada di dalam tasku!” “Ta’liqoh? Apa itu?” “Sebuah buku berisi ilmu-ilmu yang ku kumpulkan dari negeri ke negeri dengan susah payah dan lelah. Tolong kembalikan padaku, toh kalian tak membutuhkannya” mendengar pengakuan Imam al-Ghozali, ketua perampok tertawa dan kemudian yang lainpun ikut tertawa seakan mereka meremehkan Abu Hamid al-Ghozali. Lalu dia berkata “Wahai pemuda, bagaimana engkau mengaku sebagai ahli ilmu sedangkan ilmu tidak engkau hapal dan hanya kau tuliskan di ta’liqoh itu! Apa jadinya bila ta’liqoh itu tetap ku ambil maka hilanglah ilmu yang kau raih dengan susah payah dari dirimu” kemudian dia menyuruh pengikutnya untuk mengembalikan ta’liqoh itu kepada Imam al-Ghozali. Semenjak itulah beliau semakin memperhatikan ilmu dan menghapalkan semua ilmu yang ia peroleh.
Eksistensi beliau dalam menuntut ilmu tetap berlangsung bahkan beliau melanjutkan study ke Naisabur untuk masuk Universitas Nidzamiyyah (konon tertua sepanjang sejarah) yang saat itu di pimpin oleh ulama besar bernama Imam Haramain yang bermadzhabkan Syafi’iyah dan menganut aqidah Asy’ariyyah, kepada beliaulah Imam Al-Ghozali memperdalam ilmu fiqih, filsafat, mantiq, teologi, retorika, dan ilmu-ilmu lainnya. Kesungguhan dan potensi yang ia miliki menjadikan beliau sebagai murid terdekat Imam Haramain bahkan tak lama kemudian di angkat sebagai asisten utama Imam Haramain yang dipercaya menggantikan beliau dalam berbagai forum diskusi. Meskipun begitu Imam al-Ghozali tetap berguru kepada imam Haramain hingga sang guru yang ia kagumi itu wafat pada tahun 985 M.
Sepeninggalan sang guru, beliau di undang oleh pendiri Universitas Nidzamiyyah sekaligus perdana menteri yang bernama Nidzamul Muluk dan di minta untuk datang ke Baghdad.  Bertempat di Muaskar sebuah tempat pemukiman pembesar-pembesar kerajaan, orang-orang terkaya dan para ulama intelektual yang terkemuka. Istana Nidzamul Muluk yang rutin diadakan forum-forum diskusi menjadi prasarana kemasyhuran Imam al-Ghozali dalam keilmuan, kecerdasan, kekuatan hapalan dan keluasan wawasan beliau. 
Kekaguman pada sang Hujjatul Islam semakin terasa, diriwayatkan beliau mengadakan sebuah majelis diskusi dan pertemuan ilmiyah yang di hadiri tiga ratus ulama besar. Mereka semua bersimpuh di hadapannya untuk mengadopsi ilmu atau mengajukan pertanyaan kepadanya. Saat itulah beliau di angkat sebagai penasihat kerajaan dan guru besar Universitas Nidzamiyah pusat pada tahun 1090 M. Ini adalah puncak keemasan beliau dalam meraih kehormatan dan prestasi duniawi karena itu adalah kebanggaan dan puncak kemuliaan seorang ulama di zaman itu.
Kehidupan serba cukup yang beliau rasakan berjalan selama lima tahun. Bisikan rohani yang kuat seringkali menghujam di benak pikiran beliau, bahwa kemuliaan yang sebenarnya adalah kehormatan ukhrawi yang lebih hakiki. Suatu ketika Imam Ahmad Al-Ghozali adik beliau datang menghampiri dan melantunkan puisi :
Wahai batu penajam pisau,
Sampai kapan engkau hanya membuat pisau tajam
Akan tetapi engkau tetap tumpul
Kalimat-kalimat mutiara ini tidak hanya keluar dari lisan begitu saja, tetapi memang Imam Ahmad al-Ghozali tulus ikhlas mengingatkan sang kakak dari hal yang mungkin bisa menjauhkan Imam al-Ghozali dari Allah SWT. Ternyata kalam hikmah tersebut menggugah Imam Al-Ghozali dan membuahkan olah rohani yang mengantarkan beliau menuju jati diri yang sesungguhnya. Kesadaran diri bahwa semua yang ia raih, hanyalah sesuatu yang fana. Beliau mulai mengambil langkah menyatu dengan ruhaniah, dengan meninggalkan semua profesi yang ia dapat dan menerapkan konsep-konsep tasawwuf seperti Zuhud dan Wara’ serta pembersihan hati.
Uzlah memang menjadi jawaban tepat menuju pencarian Allah. Beliau berpindah dari masjid ke masjid, dari kota ke kota, dari negeri ke negeri hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri dan mujahadah serta tirakat yang ia tekuni selama sepuluh tahun itu di mulai dari perjalanan beliau menuju Damaskus untuk beri’tikaf di menara masjid jami’ Umawi. Aktifitas beliau hanya berdzikir, ibadah, puasa, qiyamul lail, mujahadah melawan hawa nafsu dan menziarahi kubur Nabi Ibrahim AS.
Setelah dua tahun menekuni mujahadahnya beliau menuju Palestina untuk beri’tikaf di masjid Al-Aqsha selama beberapa tahun dan kemudian mengekspresikan kerinduannya terhadap Mekkah dan Madinah dengan melaksanakan ibadah haji dan menziarahi makam Nabi Muhammad SAW. Selama sepuluh tahun itulah beliau menjinakkan hawa nafsu dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan jati diri yang berbeda, sehingga tak ada satu orang pun yang mengenal beliau. Hingga pada tahun 1105 M barulah beliau kembali ke kampung halaman kota Thuus dengan background yang baru yaitu seorang Imam Al-Ghozali yang bukan hanya sekedar ilmuan atau ulama intelek tetapi juga seorang wali dan sufi sejati.
Etika dalam konsep kehidupan Islam yang disajikan oleh Imam al-Ghozali tak hanya sekedar mendidik ummat Islam menjadi pribadi muslim yang sempurna, tetapi juga sebagai sebuah sarana yang menyatukan hamba bersama tuhannya sehingga tidak ada lagi hijab antara dia dan Allah SWT. Argumen ini sebagaimana yang di paparkan oleh seorang tokoh wali kutub Al-Imam Abdulloh bin Alawy Al-Haddad “Barangsiapa yang ingin meniti jalan Allah dan rosul-nya, serta jalan wali-wali Allah, maka ia harus membaca kitab karangan-karangan al-Ghozali, terutama kitab Ihya’, karena kitab ini tak ubahnya seperti lautan yang luas”.
Sebagai sebuah perbandingan, Renan dan Carra de Vaux yang non-muslim, menelaah keilmuan teologi yang ditulis al-Ghazali, kedahsyatan keilmuan yang di miliki Imam al-Ghozali mereka dan beberapa tokoh non-muslim lainnya mengagumi pemikiran Imam al-Ghozali.  St.Thomas Aquinas mengadopsi sebagian argument teologi beliau demi mengokohkan kekuasaan agama Kristen ortodoks di barat. Bahkan doktrin teologi Al-Ghozali telah mewabah ke eropa dan merasuk ke kalangan Yahudi dan Nasrani.
Dalam sebuah kitabnya berjudul Tahafut al-Falasifah ditulis dengan mengakomodasi semua pondasi dasar dari al-Quran dan Hadits. Telaah keilmuan filsafat ini ditujukan untuk menyerang ideology filsafat Ibn Sina yang bermainstream Yunani. Ibnu Sina sendiri sebelumnya telah menyusun Tahafut at Tahafut yang mengakomodasi filosofi Aristoteles yang berkebangsaan Yunani. Helenisme atau aliran rasionalisme Yunani dan ajaran bid’ah yang dulu berkembang pesat tidak dapat merasuk dan meracuni otak para tokoh dan ummat Islam berkat jasa besar Imam Al-Ghozali yang mampu membentengi agama Islam pada zamannya, karena itulah beliau mendapat gelar ‘Hujjatul Islam’. 

Minggu, 08 Juli 2012

Siwak Pembawa Keridhoan Allah SWT


قال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ.
(صحيح البخاري)
عَنْ حُذَيْفَةَ رضي الله عنه قَالَ :كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ، يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ.
(صحيح البخاري)
Sabda Rasulullah SAW: “Siwak adalah pensuci mulut dan pembawa keridhoan Allah” (shahih Bukhari)
Dari Hudzaifah ra berkata: “Bahwa Nabi SAW jika bangun dari malam hari, membersihkan mulutnya dengan siwak” (shahih Bukhari)
Assalamu’alaikum warahamatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang Melimpahkan kepada kita rahasia keluhuran, dan rahasia kebahagiaan, serta menerbitkan untuk kita rahasia kerajaan terluhur dari segenap kerajaan yaitu kerajaan sanubari, yang telah difirmankan oleh Allah subhanahu wata’ala di dalam hadits qudsiy :
مَاوَسِعَنِي أَرْضِيْ وَلاَسَمَائِيْ وَلكِنْ وَسِعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِيْ المُؤْمِنِ
“Tidaklah bumi atau langitKu dapat menampung-Ku, tapi hati hamba-Ku yang beriman dapat menampung-Ku”
Tiada akan pernah mampu langit dan bumi untuk menampung rahasia sifat-sifat keluhuran Ilahi kecuali sanubari seorang mukmin, yang meskipun bentuknya sangat kecil namun kerajaannya sangat luas, sehingga disiapkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk menampung cahaya Allah, keridhaan Allah, kemuliaan Allah, keluhuran Allah, kasih sayang dan kecintaan Allah, serta segala kemuliaan yang tidak mampu ditampung oleh alam semesta sekalipun, sebagaimana yang talah disampaikan oleh guru kita Al Musnid Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim Al Hafidh di dalam kitab beliau “Mamlakatul Quluub Wal A’dhaa” , bahwa kerajaan terbesar adalah kerajaan sanubari. Dimana ketika hati kita dipenuhi dengan keluhuran dari sang pembawa semulia-mulia keluhuran, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam maka hati itu akan terang benderang dan bercahaya, sehingga terbitlah keluhuran dan sirna segala sifat yang hina, maka dengan kehadiran kita di malam hari ini sungguh kita berada di dalam keluhuran dan sedang menaiki tangga-tangga keluhuran, dan selalu berusahalah untuk semakin baik dan teruslah berjuang dalam kehidupan ini, karena kehidupan adalah perjuangan dan sebagai modal untuk mencapai kesempurnaan akhirat. Kehidupan dunia adalah modal terbesar dari Allah subhanahu wata’ala untuk kita mencapai kebahagiaan yang abadi di akhirat. Dan seluruh kenikmatan yang disiapkan dan diberikan oleh Allah kepada kita, kesemuanya akan dipertanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala, apakah digunakan untuk mencapai keluhuran yang kekal atau hanya sekedar terlewatkan untuk memenuhi hawa nafsu saja. Oleh karena itu sebagaimana yang tadi telah disampaikan oleh guru-guru kita bahwa sungguh berat perjuangan hidup ini, yang dipenuhi banyak godaan syaithan, namun banyak pula kemuliaan-kemuliaan seperti kemuliaan majelis ta’alim, majelis dzikir, majelis shalawat dan lainnya, yang kesemua itu merupakan rahasia kemuliaan tuntunan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang harus kita panut. Namun kita juga harus waspada terhadap diri kita, yang mana kita sering menghadiri majelis-majelis mulia dengan harapan untuk membersihkan hati kita, maka setelah keluar dari majelis tersebut kita harus membenahi dan menguatkan diri dari godaan syaithan yang terus mengajak manusia kepada kehinaan, yang selalu mengajak manusia untuk memperhatikan pada hal-hal yang fana dan membuat kita melupakan hal-hal yang kekal dan abadi.
Hadits yang kita telah kita baca tadi terdapat banyak riwayat di dalam Shahihul Bukhari, yaitu hadits mengenai siwak. Kita ketahui siwak adalah sesuatu yang sangat kecil bentuknya yang lebih kecil atau hanya sebesar ibu jari saja, namun hal tersebut (siwak) membuka sesuatu yang paling berharga dalam sepanjang alam semesta ini tercipta hingga alam ini berakhir dan berlanjut dengan kehidupan di alam yang abadi, hal itu adalah keridhaan Allah subhanahu wata’ala. Diriwayatkan di dalam Shahih Al Bukhari dimana ketika penduduk surga telah memasuki surga dan menikmati seluruh kenikmatan surga, kemudian Allah berfirman dalam hadits qudsi :
 يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَقُولُونَ لَبَّيْكَ رَبَّنَا وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ فَيَقُولُ هَلْ رَضِيتُمْ فَيَقُولُونَ وَمَا لَنَا لَا نَرْضَى يَا رَبِّ وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ فَيَقُولُ أَلَا أُعْطِيكُمْ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُونَ يَا رَبِّ وَأَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ فَيَقُولُ أُحِلُّ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا
“Wahai penghuni surga!, mereka menjawab, “Kami memenuhi panggilan-Mu wahai Rabb. Seluruh kebaikan hanya ada pada kedua tangan-Mu.”, kemudian Allah berfirman: “Apakah kalian puas terhadap limpahan nikmat-Ku?” mereka menjawab, “Apa yang membuat kami tidak ridho terhadap-Mu wahai Rabb, padahal Engkau telah memberikan kepada kami kenikmatan yang tidak Engkau berikan kepada seorangpun dari makhluk-Mu.” Allah berfirman: “Maukah kalian Aku berikan kenikmatan yang lebih afdhal daripada kenikmatan itu”?, mereka menjawab, “Wahai Rabb, kenikmatan manakah yang lebih afdhal daripada kenikmatan itu?” Allah berfirman: “Aku akan limpahkan keridhoan-Ku kepada kalian, sehingga Aku tidak akan murka kepada kalian selama-lamanya”.
Maka keridhaan Allah adalah hal yang paling berharga bahkan dari surga sekalipun dan kenikmatan-kenikmatan dia dalamnya. Dan ternyata rahasia keluhuran ridha Allah itu pun tersimpan dalam sebatang siwak, sebagaimana yang telah disabdakan oleh sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
السِّوَاكُ مُطَهَّرَةٌ لِلْفَمِ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Siwak itu membersihkan mulut, diridhai oleh Ar-Rabb (Allah). ( shahih bukhari )”
Maka siwak tidak hanya membersihkan mulut, karena jika hanya untuk membersihkan mulut bisa menggunakan sikat gigi seperti zaman sekarang ini, yang bahkan mungkin lebih membersihkan daripada siwak. Namun yang dimaksud dalam hadits tersebut siwak tidak hanya membersihkan mulut saja namun juga membersihkan dosa yang ada di mulut, sebagaimana mulut juga melakukan perbuatan dosa seprti mencaci, mengumpat dan lainnya maka dosa-dosa itu akan terbersihkan dengan siwak, sebagaimana kelanjutan dari hadits tersebut bahwa siwak juga membawa kepada kerihdaan Allah subhanahu wata’ala. Maka siwak merupakan hal yang sangat agung dari sunnah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang meskipun tampaknya sangat remeh dan sepele. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sayyidina Abi Hudzaifah ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika bangun di malam hari maka beliau menggunakan siwak Dan kalimat يَشُوْصُ (menggosok ) dalam hadits tersebut sebagaimana yang dijelaskan di dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari maksudnya yaitu menggunakan siwak dengan memutarkan pada gigi bagian atas dan bawah, di bagian kiri atau pun kanan untuk membersihkannya. Namun secara ringkas adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulai hampir semua perbuatan dengan bersiwak, hingga disebutkan bahwa siwak adalah akhir sunnah beliau saat beliau dalam keadaan sakaratul maut, dimana beliau tidak menghembuskan nafas yang terakhir yang di saat itu beliau berada di pangkuan sayyidah Aisyah Ra lantas beliau melirik pada siwak yang dipegang oleh saudara lelaki sayyidah Aisyah Ra, maka melihat hal tersebut sayyidah Aisyah Ra berkata : “Apakah engkau menginginkan siwak wahai Rasulullah”, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengangguk, kemudian sayyidah Aisyah meminta siwak yang dipegang oleh saudara lelakinya lalu membersihkannya dan kemudian disiwakkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan setelah bersiwak, beliau shallallahu ‘alaihi wasalla menunjuk ke langit dan berkata : فِي الرَّفِيقِ اْلأَعْلَى (Menuju Teman (Kekasih) Yang Maha Tinggi), kemudian beliau menghembuskan nafas terakhir. Maka dijelaskan bahwa siwak adalah sunnah Rasulullah yang terakhir dilakukan oleh beliau sebelum wafat. Maka selayaknya bagi kita untuk selalu menggunakan siwak dan tidak meninggalkannya dalam kehidupan kita. Juga dijelaskan bahwa siwak adalah sebagaiسلاح المؤمن (senjata seorang mukmin) maka jadikanlah siwak itu selalu bersama kita, karena syaithan tidak suka dengan adanya siwak sehingga sering siwak itu menghilang. Maka diajarkan oleh guru mulia kita untuk memperbanyak siwak, dengan meletakkannya di baju, di kamar, di ruang tamu, di tas dan lainnya sehingga tidak tertipu oleh syaitan.
Demikian yang bisa saya sampaikan, selanjutnya kita berdzikir bersama semoga Allah subhanahu wata’ala memenuhi hari-hari kita dengan keluhuran, menguatkan iman kita dan terus membimbing kita pada jalan keluhuran dan member kekuatan kepada kita untuk selalu mengikuti sunnah nabiNya shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga senantiasa berada dalam keridhaanNya. Dan semoga Allah subhanahu wata’ala menjauhkan segala musibah dari negeri kita dan seluruh wilayah muslimin di dunia dan digantikan dengan limpahan rahmat yang kesemua itu mustahil untuk terjadi kecuali dengan kehendakNya.
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ.
Ditulis Oleh: Munzir Almusawa   
Sunday, 08 April 2012

Ajaran Kelembutan Rasulullah SAW


عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَبِيٍّ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ إِيَّاهُ
(صحيح البخاري)
<Dari Aisyah Ummulmukminin (ibunda kaum yang beriman, gelar istri-istri Rasul SAW), sungguh ia berkata: dibawakan pada Nabi SAW seorang bayi lelaki, dan buang air kecil di baju beliau SAW, maka beliau SAW minta air lalu mengusapnya dengan air saja" (Shahih Bukhari)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang melimpahkan kepada kita kemuliaan tuntunan nabiNya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga terangkat derajat kita dari kehinaan menuju keluhuran, dari keluhuran menuju keluhuran yang lebih tinggi lagi, demikianlah mulianya rahasia tuntunan sang nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang senantiasa menuntun seseorang kepada derajat semakin luhur yang tiada akhirnya, hingga semakin dekat kepada Allah subhanahu wata’ala. Kita telah mendengar penyampaian guru-guru kita akan indahnya keadaan orang-orang yang ingin mendekat kepada Allah subhanahu wata’ala dan sebaliknya bagaimana kerugian orang-orang yang tidak ingin dekat dengan tuhan penciptanya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ
“Barangsiapa yang suka berjumpa dengan Allah maka Allah suka berjumpa dengannya, dan barangsiapa yang benci bertemu dengan Allah maka Allah benci untuk bertemu dengannya”
Hadits ini merupakan suatu lamaran cinta dari Allah subhanahu wata’ala kepada hambaNya untuk mencintaiNya, oleh sebab itu kita selalu dituntun oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk senantiasa berada di jalan yang diridhai Allah subhanahu wata’ala, dan jika kita mendapati diri kita tidak mampu melakukannya maka adukanlah dan mintalah ampunan kepada Allah subhanahu wata’ala, namun Allah tidak akan membebani hambaNya lebih dari kemampuannya, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
( البقرة : 286 )
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. ( QS. Al Baqarah : 286 )
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah lambang yang mulia yang diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk dijadikan panutan, dijadikan idola,dan untuk dicintai lebih dari seluruh makhlukNya yang lain. Sehingga Allah subhanahu wata’ala mengelompokkan orang yang mencintai nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kelompok orang yang mencintai Allah subhanahu wata’ala. Jika seseorang mencintai Allah subhanahu wata’ala namun tidak mencintai nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam maka cintanya kepada Allah itu dusta, karena semakin seseorang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka hatinya akan semakin dipenuhi dengan cinta dan rindu kepada yang telah menciptakannya, yaitu Allah subhanahu wata’ala. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah makhluk yang paling indah dan paling mencintai kita (ummatnya) lebih dari seluruh makhluk lainnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mencintai kita lebih dari ayah ibu kita, mencintai kita lebih dari semua kekasih kita, karena ketika seseorang telah telah masuk ke dalam api neraka maka tidak ada seorang pun dari para kekasihnya yang akan mengingatnya kecuali sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang akan memohonkan syafaat untuknya. Bahkan para nabi dan rasul yang lainnya pun ketika mereka dimintai syafaat (pertolongan) kelak di hari kiamat mereka berkata :
نَفْسِيْ نَفْسِيْ نَفْسِيْ اِذْهَبُوْا إِلىَ غَيْرِيْ
“ Diriku, diriku, diriku, pergilah kepada selainku “
Kelak di saat manusia berkumpul di telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka akan ada orang-orang dari ummat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang disingkirkan oleh malaikat dari telaga itu karena mereka berubah (berpaling dari kebenaran) setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, namun setelah mereka terusir dari kelompok nabi Muhammad shallallahu ‘alalihi wasallam, maka mereka pergi menuju kepada semua nabi untuk meminta pertolongan akan tetapi kesemuanya menolak, sehingga mereka kembali lagi kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
أَنَا لَهَا
“ Itulah bagianku (akulah pemberi syafaat”)
Dijelaskan oleh Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalani bahwa pada mulanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusir mereka akan tetapi kemudian menerima dan mensyafa’ati mereka kembali agar dimaafkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Maka diantara ummatnya ada yang mendapatkan syafaat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada dalam mizan (timbangan) sehingga terselamatkan dari api neraka dan dimasukkan ke surga, diantara mereka ada yang disyafa’ati ketika berada di atas shirat (jembatan), dan diantara mereka ada yang telah masuk ke dalam api neraka baru disyafa’ati oleh sang nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan Rasulullah terus menghadap Allah untuk meminta pengampunan bagi umatnya yang masih berada di dalam api neraka dan belum terselamatkan, hal ini menunjukkan kecintaan beliau kepada seluruh ummatnya meskipun orang tersebut adalah pendosa. Karena seseorang yang telah masuk ke dalam neraka maka tidak ada hal lain yang ia harapkan kecuali syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak hanya memberi syafa’at kepada penduduk neraka yang pendosa saja, bahkan semua orang-orang shalih dari para wali Allah, para syuhada’ yang telah masuk surga pun mereka disyafa’ati oleh sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam agar derajat mereka semakin tinggi di surga, dan orang yang telah masuk surga akan diberi syafa’at oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberi syafaat untuk keluarganya yang berada di neraka, maka semua ummat beliau akan mendapatkan syafa’at beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kelak di hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Imam Qadhi ‘Iyadh dalam kitab As Syifaa.
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa sayyidina Jabir bin Abdillah Al Anshari Ra, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli onta untuk mengunjungi temannya sayyidina Abdullah bin Unais Ra, yang mana perjalanan itu ditempuh selama 1 bulan karena ia mendengar bahwa sayyidina Abdullah bin Unais mengetahui satu hadits yang belum sempat ia dengar, ketika itu sayyidina Jabir bin Abdillah tinggal di Madinah sedangkan sayyidina Abdullah bin Unais telah hijrah ke tempat lain namun beliau rela menempuh perjalanan selama satu bulan hanya untuk mendengar satu hadits yang belum ia dengar, dan setelah sampai di depan rumah Abdullah bin Unais, ia berkata kepada orang yang berada di pintu rumah itu : “sampaikan kepada Abdullah bin Unais bahwa Jabir bin Abdillah berada di depan pintu rumahnya”, mendengar hal itu sayyidina Abdullah bin unais kaget kemudian keluar dan menemui sayyidina Jabir dan memeluknya dengan tangisan haru karena mereka saling mencintai karena Allah dan telah lama tidak bertemu. Tidak lama kemudian sayyidina Abdullah bin Unais pun tidak sabar ingin mengetahui maksud kedatangannya dan berkata kepada sayyidina Jabir bin Abdillah : “Wahai sahabatku Jabir apa yang membuatmu menemuiku hingga engkau menempuh jarak sejauh ini?”, maka sayyidina Jabir bin Abdullah menjawab : “wahai sahabatku, aku mendengar bahwa engkau mengetahui satu hadits yang belum pernah aku mendengarnya”, mendengar hal itu sayyidina Abdullah bin Unais kaget dan berkata : “Engkau menempuh jarak yang demikian jauh untuk menemuiku hanya demi satu hadits saja yang belum pernah engkau dengar?”, maka sayyidina Jabir bin Abdullah berkata : “Aku tidak ingin wafat dan ada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang belum aku ketahui, sedangkan aku masih ada waktu dan bisa untuk mendengarkan hadits nabi tersebut namun waktu itu tidak aku pergunakan untuk hal tersebut”, demikian yang teriwayatkan dalam musnad Al Imam Ahmad dan.
Adapun hadits yang tadi kita baca terdapat banyak riwayat yang memiliki makna yang sama namun berbeda versi, dimana ketika dibawakan seorang bayi ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, diantara riwayat menyebutkan bahwa bayi tersebut dibawa kehadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk di tahnik ( mengunyah kurma kemudian dimasukkan ke mulut seorang bayi) oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, adapula yang menyebutkan bahwa bayi yang dibawa ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sayyidina Hasan dan ada yang mengatakan bahwa bayi itu adalah sayyidina Husain. Maka ketika bayi itu dibawakan ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bayi itu mengeluarkan air kencing dan mengenai baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena di zaman itu belum ada pampers, namun saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melepas bajunya untuk dicuci, akan tetapi beliau hanya meminta air dan kemudian mengusap bekas kencing bayi itu dengan air. Di dalam madzhab Syafi’i dijelaskan bahwa hal ini adalah masalah khusus yang hanya berlaku bagi bayi lelaki yang belum makan dan minum apa pun selain air susu ibunya, namun jika bayi itu telah makan dan minum selain air susu ibunya maka tidak lagi termasuk dalam najis ringan seperti yang disebutkan dalam hadits tadi. Sebagaimana najis terbagi menjadi tiga, yaitu najis Mukhaffafah (najis yang ringan), najis mutawassithah (sedang), dan najis mughallazhah (berat). Adapun kencing bayi laki-laki yang belum makan dan minum selain air susu ibunya maka termasuk ke dalam najis yang ringan, dan najis mutawassitah (najis yang sedang ) yang mana jenis najis ini disucikan dengan membersihkan dan menghilangkan 3 sifatnya, rasanya, baunya dan warnanya. Maka semua najis selain najis kencingnya anak lelaki yang belum makan dan minum kecuali air susu ibunya, tergolongkan dalam najis yang sedang. Sedangkan najis anjing atau babi adalah najis mughallazah (berat) yang mana cara mensucikannya adalah dengan menggunakan air yang dicampur dengan tanah selama 7 kali, maka selain najis anjing dan babi maka termasuk ke dalam najis yang sedang yang hanya dibersihkan dengan air hingga hilang 3 sifat najisnya (warna, bau dan rasanya), namun jika telah berusaha semampunya untuk menghilangkan ketiga sifat tersebut tetapi tetap tidak bisa hilang, maka sebagian ulama’ berpendapat bahwa hal itu dimaafkan, demikianlah sebagian dari kemudahan dalam syariat Islam sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ
“ Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan”
Maka hadits tersebut memberikan kemudahan bagi kita, karena seseorang akan merasa kerepotan jika bayi yang pipis lantas mengenai baju maka baju itu harus dicuci bersih, berapa kali dalam sehari hal itu akan terjadi karena bayi akan sangat sering mengeluarkan air kecil, terlebih lagi di masa itu tidak ada pampers, hal menunjukkan indahnya tuntunan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu sesuatu hal yang telah ada tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal tersebut merupakan hal yang paling mudah diantara hal-hal yang mudah yang telah diajarkan kepada kita. Namun terkadang orang yang merasa lemah maka hal yang mudah pun masih belum mampu untuk mengamalkan, akan tetapi dalam hal ini kita senantiasa mengingat bahwa di balik semua itu masih ada maaf dan pengampunan Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luas, sebagaimana seorang hamba yang telah masuk neraka pun tetap akan diberi syafaat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun dalam hal ini sering muncul pertanyaan ; “Bagaimana Allah subhanahu wata’ala menciptakan hamba (dan jika berkehendak) maka Allah akan memasukkannya ke neraka, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru yang mengeluarkannya dari neraka dengan syafaatnya, jika demikian apakah Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam lebih baik dan lebih penyayang daripada Allah subhanahu wata’ala?!”, tidak demikian kenyataannya, akan tetapi ketahuilah siapakah yang telah menciptakan dan menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mampu berbuat demikian, tentunya Allah subhanahu wata’ala, maka kasih sayang Allah tetap ada dan masih diberikan untuk para pendosa yang di neraka selama ia tidak menyembah selain Allah ketika di dunia, dan kasih sayang Allah itu berupa syafaat yang diberikan oleh sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam . Maka seharusnyalah kita mencintai kekasih yang paling mencintai kita, nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketahuilah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mahkluk yang paling ramah, baik, selalu memberi kemudahan kepada yang lainnya.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Muncul pertanyaan kepada saya, mengapa kita di majelis selalu membaca qasidah? maka saya jawab bahwa hal itu telah diriwayatkan dalam hadits shahih dimana sayyidina Hassan bin Tsabit membaca qasidah/ syair di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di masjid An Nabawy, maka ia menjawab : sayyidina Hassan bin Tasbit membaca qasidah sendiri tidak beramai-ramai, lantas manakah hadits yang menunjukkan para sahabat membaca qasidah beramai-ramai?, dalam hal ini mereka melupakan bahwa ada 13 riwayat di dalam Shahih Al Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca qasidah beramai-ramai dengan para sahabatnya. Dimana ketika membangun Khandaq para sahabat berkata :
نَحْنُ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا مُحَمَّدًا عَلَى اْلإِسْلاَمِ مَا بَقِيْنَا أَبَدًا
“ Kamilah yang telah membai’at nabi Muhammad (untuk berpegang) kepada Islam sepanjang hidup kami”
Dan dalam riwayat yang lain :
نَحْنُ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا مُحَمَّدًا عَلَى اْلجِهَادِ مَا بَقِيْنَا أَبَدًا
“ Kamilah yang telah membai’at nabi Muhammad untuk jihad sepanjang hidup kami”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab :
اَللّهُمَّ إِنَّ الْخَيْرَ خَيْرُ اْلآخِرَةِ فَبَارِكْ لِلْأَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَةْ
“ Wahai Allah, sesungguhnya kebaikan yang sejati adalah kebaikan akhirat, maka limpahilah keberkahan untuk kaum Anshar dan kaum Muhajirin”
Dalam riwayat yang lain disebutkan فاغفر للأنصار والمهاجرة ، ( Ampunilah kaum Anshar dan kaum Muhajirin), dan dalam riwayat lain disebutkan فارحم للأنصار والمهاجرة ( Sayangilah kaum Anshar dan kaum Muhajirin). Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasalam bersautan membaca qasidah bersama para sahabat, maka hal ini dahulu dilakukan oleh sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabatnya, akan tetapi di zaman sekarang banyak yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah perbuatan bid’ah, padahal kesemua itu terdapat dalil-dalil yang shahih dari hadits nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, baik yang terdapat di shahih al bukhari dan lainnya. Namun perbuatan ini hampir hilang akan tetapi dihidupkan kembali dari generasi ke generasi oleh kalangan ahlusunnah wal jamaah dari guru-guru mereka yang memegang sanad yang bersambung hingga kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam sebuah riwayat lain disebutkan, yang mana hal ini menunjukkan akhlak mulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana suatu ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seorang wanita yang sedang menangis di perkuburan, salah satu pendapat para imam mengatakan bahwa tangisan wanita tersebut telah berlebihan, sehingga ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati wanita tersebut, beliau berkata :
اِتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ
“ Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah”
Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ( اتقي الله واصبري) menunjukkan bahwa tangisan wanita itu telah berlebihan, karena menjerit-jerit dalam tangisannya disebabkan yang meninggal adalah suaminya atau salah seorang keluarganya namun ia tidak sempat menghadiri perkuburannya, namun ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat hal itu, beliau tidak menghardik wanita tersebut untuk pergi atau melarangnya atau dengan mengatakan bahwa hal yang dilakukannya adalah perbuatan haram, namun dengan ramah dan lemah lembut beliau berkata “bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah”. Mendengar hal itu tanpa menoleh siapa yang mengatakannya, kemudian ia berkata : “Engkau tidak tertimpa musibah yang aku hadapi sehingga engkau tidak merasakan apa yang aku rasakan saat ini, maka diam sajalah engkau”, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya diam kemudian pergi. Setelah beberapa saat datanglah sayyidina Anas bin Malik kepada wanita tersebut dan berkata : “Taukah engkau siapa yang tadi engkau bentak itu?”, wanita itu menjawab :“tidak”, maka sayyidina Anas bin Malik berkata : “Dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”, mengetahui hal itu maka wanita tersebut gemetar karena ketakutan telah membentak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga dari rasa takutnya seolah wanita itu akan meninggal, sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Shahih Muslim. Kemudian wanita itu bergegas menuju rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menghadap beliau dan berkata : “wahai Rasulullah maafkan aku, sungguh aku tidak mengetahui bahwa engkaulah yang tadi menasihatiku”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dengan ramah dan santai seraya menenangkan wanita yang ketakutan itu :
إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ اْلأُوْلَى
“ Sesungguhnya kesabaran itu adalah di saat pertama kali musibah terjadi”
Maka dengan ucapan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membuat wanita itu tenang dari musibahnya dan tenang dari ketakutan yang telah membentak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sungguh indahnya budi pekerti nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menenangkan seseorang yang sedang dalam ketakutan, kegundahan dan kesedihan. Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat jama’ah terdengar ada seorang badui yang berdoa dengan suara yang lantang :
اَللَّهُمَّ ارْحَمْنِيْ وَمُحَمَّدًا وَلاَ تَرْحَمْ مَعَنَا أَحَدًا
“Wahai Allah rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah Engkau merahmati seorang pun selain kami “
Dijelaskan oleh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalany dalam Fathul Bari bahwa orang baduwi itu adalah seseorang yang pernah membuang air kecil di dalam masjid lantas para sahabat hampir memukulinya, namun Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam menghentikannya, sehingga karena merasa kesal terhadap sahabat lantas ia mengucapkan doa tersebut.
Mendengar doa yang diucapkan orang badui itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَقَدْ حَجَرْتَ وَاسِعًا يُرِيْدُ رَحْمَةَ اللهِ
“ Engkau telah menyempitkan sesuatu yang luas, maksudnya adalah rahmat Allah”
Maka budi pekerti yang mulia yang dimiliki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membuat orang lain mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah subhanahu wata’ala melimpahkan rahmat dan kebahagiaan kepada kita, dan mengabulkan hajat-hajat kita yang bathin dan dhahir baik di dunia dan akhirah bahkan lebih dari yang kita harapkan. Dan semoga Allah subhanahu wata’ala menyingkirkan segala musibah dari kita semua, dan menggantikannya dengan rahmat, kemudahan dan kebahagiaan, diantara kita yang dalam permasalahan semoga diberi penyelesaian oleh Allah, dan bagi yang hingga saat ini belum mampu melaksanakan shalat 5 waktu semoga hari ini adalah hari terkahir baginya, dan besok telah Allah beri kemampuan untuk melakukan shalat 5 waktu, bagi yang belum berbakti kepada kedua orang tuanya semoga setelah pulang dari majelis ini ia mulai berbakti kepada orang tuanya. Bagi yang belum berbakti kepada suaminya semoga setelah ini ia mulai berbakti kepada suaminya, dan suami yang belum bertanggung jawab terhadap istri dan keluarganya semoga setelah mejelis ini ia mulai bertanggungjawab terhadap keluarganya. Semoga yang bermusuhan dan berpecah belah diantara kita segera bersatu dalam kalimat “Laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasulullah”, dan jika ada yang putus silaturrahmi semoga setelah bersambung kembali. Doa kita yang terakhir, semoga acara kita pada tanggal 7 Mei di Monas yang dihadiri oleh guru mulia Al Musnid Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim Al Hafidh yang akan tiba di Indonesia pada akhir bulan April dan langsung menuju ke Solo, kemudian ke pesantren Lirboyo untuk pertemuan dengan para Ulama’, kemudian ke Cirebon dalam rangka Pesantren Kilat selama seminggu, kemudian hadir pada acara kita di Monas pada tanggal 7 Mei Insyaallah, kemudian kembali ke kediaman beliau di Tarim Hadramaut setelah kurang lebih 3 bulan dalam rihlah dakwah ke berbagai negara. Semoga acara yang akan kita adakan berjalan sukses, dan meninggalkan bekas yang mulia untuk Jakarta dan bangsa kita kaum muslimin khususnya, dan seluruh wilayah kaum muslimin di seluruh dunia agar semakin tentram dan makmur dan dipenuhi hidayah Allah subhanahu wata’ala, amin.
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ
Ditulis Oleh: Munzir Almusawa   
Monday, 23 April 2012

Sifat Pencemburu Allah SWT


قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لَا أَحَدَ أَغْيَرُ مِنْ اللَّهِ، وَلِذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا، وَمَا بَطَنَ، وَلَا شَيْءَ، أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ، مِنْ اللَّهِ، وَلِذَلِكَ مَدَحَ نَفْسَهُ
(صحيح البخاري)
Sabda Rasulullah SAW: “Tiada siapapun yang lebih pencemburu dari Allah, karena itulah Dia (SWT) melarang perbuatan dosa dan jahat, yang terang terangan atau yang tersembunyi, dan tiada siapapun yang lebih suka dipuji, selain Allah, oleh sebab itulah Dia (SWT) memuji Dzat-Nya (SWT) sendiri) (Shahih Bukhari)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang Maha membuka rahasia kerajaan alam semesta dengan cahaya keindahaNnya, melimpahkan cahaya keluhuran, cahaya kemuliaan dan cahaya kasih sayangNya, dan kita sebagai manusia diberi kesempatan untuk melewati kehidupan yang sementara di dunia demi mencapai keridhaan Allah yang kekal dan abadi, untuk mencapai kebahagiaan yang kekal dan abadi. Allah subhanahu wata’ala menerangi jiwa hambaNya dengan iman, sehingga terang benderanglah jiwa itu sebab cahaya Allah, yang mana akan terlihatlah sifat-sifat kita yang hina yang kemudian kita siap untuk meninggalkannya, dengan cahaya tersebut terlihat dan terpisahlah antara sifat yang baik dan sifat yang buruk dalam hati kita hingga kita dapat membedakan dan dengan mudah untuk menjalankan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang hina. Namun ketika cahaya iman dalam hati seseorang semakin gelap, maka ia semakin tidak akan dapat membedakan antara hal yang baik dan yang buruk, sebaliknya semakin terang cahaya iman di hati seseorang maka ia akan semakin mampu membedakan antara perbuatan yang diridhai Allah subahanahu wata’ala dan perbuatan buruk yang dimurkai oleh Allah. Hal ini akan terlihat dan tampak dengan cahaya iman. Allah subhanahu wata’ala berfirman :
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
( النور : 35 )
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS. An Nuur : 35 )
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”
Dalam menafsirkan ayat tersebut, sebagian Ulama’ menafsirkan diantara penafsirannya bahwa Allah Maha Mengasuh langit dan bumi, Allah Maha Melindungi dan Maha mengatur langit dan bumi, Allah Maha Tunggal menentukan segala kejadian di langit dan bumi, Allah Maha Mampu merubah keadaan dan Allah Mampu menerangi jiwa hamba-hamba yang beriman dengan kemuliaan dan cahaya-cahaya tuntunan para Nabi dan Rasul, yang berakhir dengan pemimpin para pembawa cahaya iman sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang Allah memberinya gelar sebagai “Cahaya yang terang benderang” sebagaimana firmanNya :
وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا
( الأحزاب : 46 )
“Dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.” ( QS. Al Ahzaab : 46 )
Maka disini dapat kita fahami ketika Allah subhanahu wata’ala menggelari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai “Pelita yang terang benderang”, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lah cahaya Allah subhanahu wata’ala, beliau lah hamba yang menerangi alam semesta ini dengan hidayah, dengan tuntunan keluhuran dan seindah-indah budi pekerti beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diantaranya beliau adalah makhluk yang paling ramah dan dermawan, makhluk yang paling sopan dan berlemah lembut dari semua makhluk Allah subhanahu wata’ala. Sebagaimana dalam sebuah riwayat yang sering kita dengan, dimana ketika seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : “sungguh aku akan celaka dan masuk akan masuk neraka”, maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersbada : “wahai Fulan, apa yang menyebabkanmu mengucapkan hal demikian?”, kemudian orang itu berkata : “Wahai Rasulullah, aku telah berjima’ dengan istriku di siang hari bulan Ramadhan”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Bertobatlah kepada Allah, dan engkau harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut”, maka orang tersebut berkata : “wahai Rasulullah, aku adalah seorang kuli yang miskin, untuk berpuasa selama satu bulan bagiku sangatlah berat dan tidak mampu melakukannya apalagi harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut”, . Kita ketahui bahwa tidak ada seorang pun yang lebih tegas dalam menjalankan syariat daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun kita lihat bagaimana keindahan dalam sikap ketegasan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menanggapi permasalahan orang tersebut, yang mana ketika orang yang tadi berkata bahwa ia tidak mampu melakukan puasa selama 2 bulan, lantas sebagai ganti dari puasa itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh orang tersebut untuk memberi makan 60 orang miskin, maka ia pun berkata : “Wahai Rasulullah aku adalah seorang yang miskin, untuk memberi makan keluargaku saja aku merasa sangat kesusahan, bagaimana aku harus memberi makan untuk 60 orang”, mendengar ucapan orang tersebut dan karena kasih sayang dan sifat lemah lembutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau mengambil kurma milik beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menebus dosa orang tersebut, seraya berkata : “berikanlah kurma ini kepada penduduk yang termiskin di Madinah ”, maka orang tersebut berkata : “Wahai Rasulullah, orang yang termiskin di Madinah adalah aku”, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “jika begitu, ambillah kurma itu untukmu”. Dari sini kita ketahui bagaimana kelembutan dan kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik ketika di dunia atau pun kelak di akhirat. Dimana di akhirat kasih sayang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berupa syafa’at kubra, sebagaimana yang banyak teriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mensyafaati sedemikian banyak orang yang telah masuk ke dalam neraka selama ia tidak menyembah kepada selain Allah selama hidup di dunia. Namun dalam hal ini masih banyak orang yang terkadang merasa bingung dan bertanya-tanya ; “siapakah yang lebih baik dan berkasih sayang, Allah subhanahu wata’ala atau nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?, Allah subhanahu wata’ala yang telah menciptakan neraka kemudian memasukkan hamba-hambaNya ke dalam neraka itu namun Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam justru mengeluarkan mereka dengan syafaat beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. Maka dalam hal ini harus kita fahami bahwa Allah subhanahu wata’ala lah yang telah menciptakan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjadikan beliau memiliki sifat lemah lembut serta mampu memberikan syafaat untuk manusia, maka kesemua itu adalah atas kehendak Allah subhanahu wata’ala, sebagai bentuk daripada ungkapan cinta Allah kepada hamba-hambaNya, maka cintailah Allah subhanahu wata’ala Yang memberi petunjuk dengan cahayaNya kepada siapa pun yang dikehendakiNya, semoga kita senantiasa diterangi oleh cahaya Allah dengan hidayahNya, amin. Di hari-hari terakhir ketika Rasulullah dalam keadaan sakaratul maut, diantara wasiat yang beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ucapkan adalah :
اَلصَّلاَةُ اَلصَّلاَةُ
“(Lakukanlah) shalat, shalat”
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اَلصَّلاَةُ نُوْرٌ
“ Shalat adalah cahaya “
Maka semakin seseorang banyak meninggalkan shalat, maka akan semakin gelap kehidupan bathin (sanubari) dan zhahirnya. Begitu juga semakin seseorang banyak melakukan shalat, disamping mengerjakan shalat yang fardhu ia juga melakukan shalat-shalat yang sunnah maka hal tersebut akan semakin membuat hati seseorang menjadi tenang dan bercahaya dalam masa hidupnya di dunia dan kehidupannya di akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam demikian lembut dan berkasih sayang kepada semua makhuk, namun Allah subhanahu wata’ala lebih Maha berkasih sayang, sehingga berfirman dalam hadits qudsi :
إنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
“ Sesungguhnya rahmatKu (kasih sayang) mengalahkan (melebihi) kemurkaan-Ku”
Sehingga setiap satu kebaikan seseorang akan dibalas dengan sepuluh kebaikan, sedangkan satu perbuatan jelek hanya dibalas dengan satu kejelekan, maka hal ini menunjukkan bahwa kasih sayang Allah melebihi kemurkaanNya. Oleh sebab itu sesuatu yang sangat mudah didapatkan oleh seorang hamba adalah pengampunan Allah subhanahu wata’ala karena para malaikat pun memohonkan pengampunan untuk penduduk bumi, yaitu manusia. Akan tetapi hal tersebut tidak boleh diremehkan karena Allah subhanahu wata’ala juga memiliki kemurkaan.
Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman:
تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْ فَوْقِهِنَّ وَالْمَلَائِكَةُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَلَا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
( الشورى : 5 )
“Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya (karena kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( QS. As Syuuraa: 5 )
Mengapa langit hampir terbelah? Yaitu karena gemuruh para malaikat yang berdzikir menyebut nama Allah subhanahu wat’ala dan memohonkan ampunan kepada Allah subhanahu wata’ala untuk penduduk bumi, demikian dahsyat dan hebatnya gemuruh para malaikat yang berdzikir dan memohonkan ampunan kepada Allah untuk penduduk bumi, sehingga hampir membuat langit terbelah, sedangkan jika seluruh penduduk bumi semuanya berkumpul dan berdzikir maka hal itu belum mampu untuk sekedar menggeser sebuah gunung apalagi membuat langit terbelah. Dan dalam hal ini yang perlu kita ketahui bahwa para malaikat memohonkan pengampunan untuk penduduk bumi adalah atas perintah dan kehendak Allah subhanahu wata’ala karena rahmatNya terhadap hamba-hambaNya, maka apalagi hal yang menghalangi kita untuk mencintai Allah subhanahu wata’ala?!.
Sampailah pada hadits agung yang telah kita baca, dimana hadits tersebut mengundang kita untuk mencintai dan dicintai Allah subhanahu wata’ala. Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa tiada yang lebih pencemburu daripada Allah subhanahu wata’ala, dan kita ketahui bahwa cemburu timbul dari rasa cinta. Sehingga dari rasa cemburu itu Allah subhanahu wata’ala mengharamkan perbuatan-perbuatan jahat baik yang zhahir atau pun yang bathin, baik perbuatan dosa yang tampak dan terlihat mata ataupun perbuatan dosa yang tidak terlihat oleh mata, sebagaimana penyakit hati seperti berprasangka buruk, sombong, iri, dengki dan lainnya maka semua itu dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala karena Allah ingin hamba-hambaNya dekat kepadaNya. Sebab jika seseorang berbuat dosa baik secara zhahir atau bathin maka hal itu akan menjauhkan seorang hamba dari Allah subhanahu wata’ala dan Allah tidak ingin hal itu terjadi, sehingga Allah mengharamkan perbuatan-perbuatan jelek agar hamba-hambaNya menjauh dan meninggalkan perbuatan tersebut kemudian mendekat kepada Allah subhanahu wata’ala, demikian indahnya Allah subhanahu wata’ala. Jika Allah subhanahu wata’ala tidak menyayangi hamba-hambaNya maka Allah akan membiarkan mereka berbuat apa saja, berbuat baik atau buruk. Dan Allah telah menciptakan surga dan neraka, siapa saja yang Allah kehendaki untuk masuk ke surga atau ke neraka maka hal itu mudah bagi Allah subhanahu wata’ala. Namun karena Allah subhanahu wata’ala memiliki rasa kasih sayang terhadap hamba-hambaNya, akan tetapi cinta Allah itu sering diremehkan bahkan ditolak oleh hamba namun Allah subhanahu wata’ala tidak marah dan tidak putus asa untuk tetap menanti jawaban cinta hamba-hambaNya hingga sampai pada nafas-nafas terakhir seorang hamba ketika sakaratul maut, tidak seperti makhluk sebagaimana kita ketahui ketika kita mencintai orang lain dan cinta itu tidak dijawab, maka kita akan merasa sakit hati, marah, atau bahkan menjauh darinya dan lain sebagainya, namun Allah subhanahu wata’ala akan tetap menanti jawaban cinta hamba-hambaNya. Maka gunakanlah selagi masih tersisa nafas-nafas kita untuk mencintai Allah subhanahu wata’ala, untuk merindukan Allah subhanahu wata’ala, dan mengagungkan Allah dengan menjauhi hal-hal yang hina di sisi Allah semampu kita, adapun atas perbuatan jelek yang belum mampu kita hindari maka senantiasalah memohon kepada Allah agar diberi kemudahan dan kekuatan untuk menghindari hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah subhanahu wata’ala, serta perbanyaklah berbuat sesuatu yang diridhai Allah terlebih hal-hal yang wajib bagi kita, dan juga perbanyaklah perbuatan-perbuatan yang sunnah, karena perbuatan-perbuatan baik akan menghapus perbuatan-perbuatan yang buruk, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
(هود : 114 )
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” ( QS. Huud : 114)
Dalam hadits tersebut diatas yang dimaksud bahwa “Allah subhanahu wata’ala mengharamkan perbuatan-perbuatan buruk”, sebagian ulama’ mengatakan bahwa yang dimaksud perbuatan-perbuatan buruk adalah perbuatan zina dan perbuatan yang mengakibatkan perbuatan zina, karena di masa jahiliyyah perbuatan zina tidak apa-apa dilakukan jika secara sembunyi-sembunyi, adapun jika secara terang-terangan maka termasuk hal yang buruk. Akan tetapi dalam syariat agama Islam Allah subhanahu wata’ala mengharamkan perbuatan tersebut baik secara terang-terangan ataupun secara sembunyi-sembunyi. Adapun Al Imam Ibn Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah bahwa Allah subhanahu wata’ala mengharamkan segala perbuatan jelek, karena kecemburuan Allah yang muncul sebab cintaNya kepada hamba-hambaNya. Namun jika saat ini hingga kelak ketika sakaratul maut cinta Allah itu kita tolak, bagiamana keadaan kita kelak ketika akan menghadap Allah subahanahu wata’ala, dimanakah tempat orang-orang yang menolak cinta Allah ketika di dunia?!, bagaimana wajah-wajah orang yang yang kelak ketika dipanggil: “Fulan bin Fulan maju kehadapan Allah”, Allah subhanahu wata’ala berfirman :
إذَا أَحَبَّ الْعَبْدُ لِقَائِي أَحْبَبْت لِقَاءَهُ وَإِذَا كَرِهَ عَبْدِي لِقَائِي كَرِهْت لِقَاءَهُ
“ Jika seorang hamba ingin (suka) dengan perjumpaanKu maka Aku juga menyukai/mencintai perjumpaannya, dan jika seorang hamba membenci perjumpaan denganKu maka Aku pun membenci perjumpaannya”
Jika seseorang yang ketika hidup di dunia ia tidak rindu kepada Allah bahkan tidak terlintas keinginan pun untuk bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala Yang telah memberinya nafas, penglihatan, pendengaran dan kenikmatan yang lainnya, sungguh betapa malunya keadaan orang tersebut kelak berada di hadapan Allah subhanahu wata’ala.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وَلَا شَيْئَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِنَ اللهِ وَلِذلِكَ مَدَحَ نَفْسَهُ
“ Dan tiada sesuatu yang lebih disukai Allah daripada pujian ,oleh sebab itu Dia (Allah) memuji DzatNya”
Mengapa Allah subhanahu wata’ala memuji dzatNya?, karena Allah subhanahu wata’ala memang berhak untuk dipuji, jika seorang hamba memuji Allah subhanahu wata’ala dan ia mnegetahui bahwa Allah subhanahu wata’ala suka dipuji, kemudian hamba tersebut memuji Allah maka Allah akan memuliakannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan hal tersebut kepada ummat beliau supaya mereka banyak memuji Allah subhanahu wata’ala, namun bukan berarti Allah subhanahu wata’ala butuh pujian kita, tidak seperti manusia yang diantara sifat fitrah manusia adalah suka dipuji dan tidak senang dihina, meskipun bagi orang-orang yang mencapai derajat yang tinggi dari para shalihin maka bagi mereka sama saja antara dipuji atau dihina. Maka jika seseorang suka dipuji maka mungkin saja ada keinginan buruk dalam dirinya dengan pujian itu, namun jika Allah menyukai pujian maka karena Allah memang berhak untuk dipuji, dan tiada yang berhak dipuji selainNya yang telah menciptakan kerajaan alam semesta. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam megajarkan kepada kita untuk banyak memuji Allah subhanahu wata’ala. sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :
اَلْحَمْدُلله تَمْلأُ الْمِيْزَانَ وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لله تَمْلآنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ
“ Alhamdulillah memenuhi (memberatkan) timbangan, dan Subhanallah waalhamdulillah keduanya memenuhi ruang yang ada di langit dan bumi, dan shalat itu adalah cahaya”
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda :
كَلَمَتانِ خَفِيفَتَانِ على اللِّسانِ ، ثَقِيلَتَانِ فِي المِيزَانِ حَبيبَتَانِ عَلَى الرَّحمَن : سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ الله العَظِيْم
“ Dua kalimat yang ringan di lidah (diucapkan), memberatkan di timbangan, dan disukai oleh Allah : “ Subhanallah wabihamdihi subhanallah al ‘azhiim”
Yang mana ucapan tersebut sangat ringan diucapkan, namun sangat bernilai di sisi Allah subhanahu wata’ala.
Maka terangi hari-hari kita dengan ucapan-ucapan indah tersebut, terlebih lagi mungkin sebagian dari kita merasa kesulitan jika harus membaca Al qur’an, karena membaca Al qur’an harus dalam keadaan bersuci, jika kita tidak dalam keadaan bersuci maka haruslah terlebih dahulu berwudhu, namun untuk berdzikir tidak diharuskan bagi kita untuk berada dalam keadaan bersuci atau tidak berhadats. Disebutkan dalam sebuah riwayat Shahih Al Bukhari bahwa orang yang berdzikir mengingat Allah dalam kesendiriannya kemudian ia mengeluarkan air mata, maka Allah subhanahu wata’ala akan memberinya naungan kelak di hari kiamat yang mana tiada naungan kecuali naungan Allah subhanahu wata’ala, orang yang berdzikir mengingat Allah subhanahu wata’ala dalam kesendiriannya kemudian ia mengalirkan air mata. Jika kita sering bertafakkur dan mengingat Allah subhanahu wata’ala, merindukanNya Yang Maha Indah, dimana memandang Allah subhanahu wata’ala adalah merupakan kenikmatan yang terbesar. Al Imam At Thabari Ar di dalam tafsirnya menjelaskan dengan menukil sebuah riwayat yang tsiqah bahwa setelah penduduk surga masuk ke dalam surga, maka ketika itu datanglah seseorang yang membawa cahaya seperti gunung, maka mereka berkata: “siapakah orang itu?”, maka maalaikat menjawab : “ Dia adalah abu al basyar As, nabi Adam As”, maka nabi Adam As langsung menuju mimbar cahaya, kemudian datang seseorang yang membawa cahaya bagaikan gunung, dan ketika ditanya siapakah dia, maka malaikat menjawab : “Dia adalah khalilullah, Ibrahim As”, demikian seterusnya datang para nabi satu per satu, hingga kemudian datanglah seseorang yang membawa cahaya sebanyak jumlah cahaya yang dibawa oleh para nabi dan rasul, yang membawa cahaya yang paling banyak dari nabi dan para rasul sebelumnya, dan ketika ditanya Dia adalah nabi Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pemimpin para nabi dan Rasul. Maka ketika itu para nabi dan rasul berada di mimbar-mimbar cahaya, para syuhada’ dan shalihin berada di atas dipan-dipan cahaya, dan penduduk surga yang lainnya duduk di atas lantai yang terbuat dari misk ( minyak wangi ) menjadi lantai surga, maka ketika itu Allah subhanahu wata’ala berfirman : “Selamat datang para hamba-hambaKu, para tamu-tamuKu”, kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk member mereka hidangan-hidangan berupa makanan, dan minuman yang belum pernah mereka rasakan di dunia, kemudian dihembuskan kepada mereka angin yang mewangikan seluruh tubuh mereka, lalu dibagikan kepada mereka pakaian-pakaian surga yang sangat indah. Ketika itu Allah subhanahu wata’ala memerintahkan malaikat untuk membuka tabir cahaya yang menghalangi antara Allah dengan hamba-hambaNya, yang mana disebutkan oleh sebagian pendapat bahwa tabir itu adalah paduan antara kegelapan, cahaya dan air, adapun sebagian Ulama’ mengatakan jumlah tabir itu adalah 70.000, kemudian tabir itu disingkap dan Allah subhanahu wata’ala berfirman :
السلام عليكم عبادي، انظروا إليّ فقد رضيت عنكم
Maka ketika itu berguncanglah surga, dan bertasbihlah seluruh malaikat, dan semua manusia tersungkur bersujud karena memandang kewibawaan dan keindahan Allah subhanahu wata’ala. Maka Allah subhanahu wata’ala berfirman :
عبادي ارفعوا رءوسكم فإنها ليست بدار عمل، ولا دار نَصَب إنما هي دار جزاء وثواب، وعزّتي وجلالي ما خلقتها إلا من أجلكم، وما من ساعة ذكرتموني فيها في دار الدنيا، إلا ذكرتكم فوق عرشي
Maka mereka pun memandang pada keindahan Allah subhanahu wata’ala…
اللهم ارزقنا النظر إلى وجهك الكريم
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ اْلعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ...لاَ إِلهَ إِلَّا الله رَبُّ اْلعَرْشِ اْلعَظِيْمِ...لاَ إِلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّموَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ اْلعَرْشِ اْلكَرِيْمِ...مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ
Ditulis Oleh: Munzir Almusawa   
Friday, 11 May 2012

Perang Tabuk di Bulan Rajab


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَقُولُ، عِنْدَ الْكَرْبِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ، وَرَبُّ الْأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ،
(صحيح البخاري)
Dari Ibn Abbas Ra: Sungguh Rasulullah SAW berdoa ketika dalam kesulitan: Laa ilaaha illallahul adhiimul haliim, Laa ilaaha illallah rabbul arsyi adhiim, laa ilaaha illallah, rabbbussamawati, wa rabbul ardhi, wa rabbul arsyil adhiim (Tiada Tuhan Selain Allah, Maha Agung dan Maha Berlemah Lembut, Tiada Tuhan Selain Allah Pemilik Arsy yang agung, Tiada Tuhan Selain Allah, Pemilik seluruh langit dan Bumi dan pemilik Arsy yang Mulia ) (Shahih Bukhari)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang Maha melimpahkan rahasia keberkahan di bulan-bulan tertentu yang terlimpah keluhuran yang lebih, keluhuran Allah subhanahu wata’ala tidak pernah terbenam bagi hamba-hambaNya, berbeda dengan matahari yang timbul dan tenggelam, berbeda pula dengan bulan yang muncul dan sirna, berbeda dengan air di lautan yang terkadang pasang dan surut, berbeda dengan bumi yang mana ada permukaan datar dan ada yang rendah dan ada pula yang tinggi, berbeda dengan semua makhluk yang ada, sebagaimana firmanNya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(الشورى : 11 )
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ( QS. As Syuuraa : 11)
Allah subhanahu wata’ala melimpahkan keluhuran kepada hamba-hambaNya, dan mereka yang mendapatkan keluhuran adalah keturunan nabiyullah Adam As yang telah disetujui oleh Allah untuk masuk ke dalam samudera cahaya لا إله إلا الله , samudera cahaya itu menerangi jiwa hamba-hambaNya sehingga sirnalah sifat-sifat yang hina dan terbitlah sifat-sifat yang luhur dan mulia, cahaya itu membenahi jiwa seseorang sehingga setiap ucapan, penglihatan , pendengaran dan segala sesuatu yang berada di sekitarnya akan terang benderang dengan cahaya لا إله إلا الله , dan yang telah disabdakan oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلهَ إِلَّا الله
“ Sesungguhnya Allah telah mengharamkan api neraka terhadap orang yang mengucapkan لا إله إلا الله “
Gejolak api neraka diharamkan oleh Allah untuk menyentuh orang-orang yang mengucapkan kalimah tauhid ( لا إ له إلا الله ) murni dari dasar sanubarinya. Oleh karena itulah dengan keagungan kalimah tauhid ini berpijarlah kemuliaannya di bulan yang mulia ini, kalimat yang dirangkum dalam suatu rangkuman luhur yaitu berupa ibadah shalat yang dihadiahkan oleh Allah kepada kita di bulan Rajab, dan juga sebagai undangan tunggal untuk satu-satunya makhluk yang mewarisi cahaya kalimah لا إ له إلا الله , makhluk yang paling terang benderang dengan cahaya لا إ له إلا الله , dan satu-satunya makhluk yang terpilih sebagai pemimpin makhluk-makhluk yang terang benderang dengan cahaya لا إ له إلا الله , beliaulah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu kita akan membaca hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkannya kepada ummatnya, dan ucapan ini pun hampir selalu kita baca di setiap akhir majelis, namun sebagian ada yang bertanya : “Mengapa yang diucapkan bukan لا إ له إلا الله محمد رسول الله , riwayat dari mana kalimat-kalimat tersebut, mengapa kalimat itu banyak diulang-ulang di Majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?”, karena banyaknya pertanyaan akan hal itu , maka hal itu perlu kita jawab agar mereka yang hadir di majelis-majelis mengetahui dan meyakini bahwa hal-hal yang kita amalkan kesemuanya sejalan dengan apa yang diperbuat oleh guru mulia ketika, dan telah mengajari kita untuk memperbanyak mengucapkan kalimat-kalima itu dan diulang sebnayak 3 kali, dan hal tersebut bukan hanya sekedar ajaran dari guru mulia saja atau sanadnya terputus sampai pada beliau saja, akan tetapi sanad tersebut bersambung hingga kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ucapan tersebut bukanlah ucapan yang dibuat-buat oleh Majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ketahuilah bahwa hal ini telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana diriwayatkan oleh sayyidina Abdullah bin Abbas Radiyallahu ‘anhuma :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ عِنْدَ الْكَرْبِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَرَبُّ الأَرْضِ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
“ Dari sayyidina Ibn Abbas Ra, sesungguhnya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dalam kesedihan mengucapkan : “ Tiada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Pengampun, Tiada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah, Tuhan Yang menguasai ‘arsy, tiada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah, Tuhan Yang menguasai langit dan bumi, Tuhan Yang menguasai ‘arsy lagi Maha Mulia”
Kalimat ini diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di saat kita ditimpa musibah atau dalam kesulitan untuk membaca kalimat ini, sehingga dengan cahaya keluhuran لا إ له إلا الله maka musibah tersebut akan tertepis bagaikan debu yang tertiup angin dahsyat yaitu hembusan dari kalimat –kalimat luhur ini.
Begitu juga hal yang perlu kita fahami dari kalimat ini adalah penjagaan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kita, dimana di saat kita ditimpa musibah atau dalam kesulitan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan bacaan atau doa yang dapat membuat kesusahan atau kesulitan kita hilang dan sirna. Sungguh betapa banyak kesulitan yang sirna dan dihilangkan oleh Allah sebab seseorang mengamalkan atau membaca kalimat ini. Kalimat ini diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat ini telah sampai kepada kita yang mana sanad keguruan kita bersambung kepada guru mulia dari guru-gurunya hingga sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu pelajari dan amalkan dzikir-dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bekal hidup kita agar kita selamat dari segala musibah. Akan tetapi kalimat-kalimat luhur ini, bagi mereka yang memiliki ketajaman pemahaman maka mereka tidak hanya meyakini bahwa kalimat ini hanya dapat menghapus musibah atau kesulitan di dunia, akan tetapi kalimat ini juga akan menghapus kesulitan atau permasalahan di akhirat, sebagaimana hadits yang tadi disebutkan bahwa seseorang yang mengucapkan لا إله إلا الله dari dasar hatinya maka Allah akan mengharamkannya dari api neraka. Namun masih banyak orang yang meremehkan keagungan kalimat ini, sehingga mereka merasa tidak perlu untuk mengulang-ulang kalimat ini, bahkan sampai-sampai melarang orang lain untuk banyak mengucapkan kalimat ini, dengan dalih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengucapakan kalimat tersebut secara bersama-sama dan beramai-ramai. Namun tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan kemuliaan kalimat-kalimat ini, maka di saat kaum muslimin ditimpa banyak musibah dan permasalahan, terjebak dalam berbagai macam pebuatan hina dan dosa, dan jauh dari perbuatan-perbuatan mulia, maka dalam keadaan seperti itu kemana mereka akan melarikan diri, jika bukan pada perkumpulan dzikir, untuk mencabut dan menepis setiap pemasalahan, kesusahan atau kesedihan yang menimpa mereka, dosa-dosa yang menindih mereka, yang yang mana hal itu juga memungkinkan timbulnya permasalahan atau musibah di masa depannya baik di dunia atau di akhirat, maka perkumpulan dalam dzikir mengucapkan لا إله إلا الله hampir tidak pernah ditinggalkan oleh para salafusshalih, sehingga di setiap akhir majelis selalu ditutup dengan mengucapkan kalimah talqin (لا إله إلا الله ), karena satu hal yang dirisaukan oleh para shalihin adalah jika seseorang telah tenggelam dalam perbuatan dosa maka di saat ia berada dalam keadaan sakaratul maut maka ia tidak dapat mengucapkan kalimat لا إله إلا الله atau bahkan lupa dengan kalimat tersebut, sehingga mereka para shalihin menjadikan dalam setiap perkumpulan selalu ada pengucapan kalimat-kalimat لا إله إلا الله . Al Imam Ibn Hajar berkata dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari dikarenakan keagungan kalimat لا إله إلا الله maka menjadi sesuatu yang disunnahkan untuk diulang-ulang, agar kalimat itu tertanam di hati kita, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ للهِ تِسْعَةُ وَتِسْعُوْنَ اِسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“ Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barangsiapa yang menghafalnya maka akan masuk surga”
Hal ini bukan berarti cukup bagi kita hanya menghafal 99 nama Allah tanpa melakukan ibadah yang lainnya, namun maksud dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa seseorang yang menghafal nama-nama Allah maka berarti orang tersebut sering atau banyak menyebut nama-nama Allah sehingga ia menghafalnya. Ketika seeorang banyak menyebut dan mengingat nama-nama Allah, sebagaiman nama-nama Allah memiliki makna-makna yang berbeda, sehingga hal tersebut dapat menjadikan seseorang untuk banyak melakukan kebaikan dan meninggalkan perbuatan yang hina. Oleh sebab itu cahaya dari 99 nama Allah subhanahu wata’ala jika ada dalam setiap sanubari kita maka akan menjaga kita dari perbuatan-perbuatan hina, sehingga ketika akan wafat pun kalimat itulah yang memenuhi sanubari kita.
Di bulan Rajab ini salah satu peristiwa yang perlu kita ingat adalah peristiwa perang Tabuk yang terjadi pada akhir bulan Jumadil Tsani dan awal Rajab, setahun setelah kejadian perang Mu’tah dimana ketika sayyidina Ja’far bin Abi Thalib, sayyidina Zaid bin Haritsah dan sayyidina Abdullah Ibn Rowahah Rdiyallahu ‘anhum wafat dalam perang Mu’tah. Maka setahun kemudian setelah kejadian itu, sampailah kabar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa pasukan Romawi akan masuk ke Jazirah Arab melewati wilayah Tabuk, dan ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada dalam keadaan yang sulit, diriwayatkan dalam sirah Ibn Hisham bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan dan menyampaikan tausiah kepada para sahabat untuk bershadaqah, barangkali diantara mereka ada yang dapat membantu dengan hartanya, jika diantara mereka mempunyai tunggangan (onta,kuda atau keledai) lebih atau memiliki simpanan senjata yang banyak, mungkin memiliki simpanan makanan yang banyak atau yang lainnya untuk dijadikan sebagai persiapan untuk menuju Tabuk, karena perjalanan menuju Tabuk merupakan perjalanan terjauh dalam peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka sayyidina Utsman bin Affan Ra adalah orang pertama yang menanggapi dan menjawab apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di saat para sahabat yang lainnya terdiam, seraya berkata :“Wahai Rasulullah, dariku 1000/100 Dinar untuk persiapan perang Tabuk”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meneteskan air mata dan mengangkat tangannya seraya berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala :
اَللّهُمَّ ارْضَ عَنْ عُثْمَانَ فَإِنِّي عَنْهُ رَاضٍ
“ Ya Allah ridhailah Utsman, sesungguhnya aku telah ridha terhadapnya”
Maka ketika itu keberangkatan menuju Tabuk segera dipersiapkan, yang mana tujuan dari perjalanan tersebut adalah untuk menahan pasukan Romawi yang akan menyerang Jazirah Arab melalui wilayah Tabuk, dimana Tabuk merupakan daerah pantai. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin menahan mereka agar tidak masuk ke wilayah muslimin, sehingga Rasulullah dan pasukan muslimin berangkat untuk menunggu pasukan Romawi di pantai Tabuk, yang mana keberangkatan itu terjadi pada akhir bulan Jumadil Tsani, dalam riwayat lain terjadi pada awal bulan Rajab. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw untuk tetap berada di Madinah Al Munawwarah, maka beliau pun menetap di Madinah meskipun ada perasaan kecewa dalam diri beliau, terlebih lagi dengan munculnya perkataan dari sebagian orang yang berkata bahwa sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah pemuda yang kuat dan memiliki kehebatan dalam peperangan namun diperintahkan untuk tidak ikut dalam peperangan akan tetapi hanya menetap di Madinah untuk menjaga kaum wanita dan anak-anak. Mendengar hal itu sayyidina Ali Kw langsung mengambil pedang, perisai dan peralatan perang yang lainnya kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, engkau akan berangkat untuk perang dan meninggalkan aku disini bersama para wanita dan anak-anak kecil”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُوْنَ مِنْ مُوْسَى إِلَّا أَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِيْ
“ Tidakkah engkau rela/senang jika engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku”
Demikianlah cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menenangkan sayyidina Ali Kw yang penuh dengan semangat juang ini agar tidak kecewa atau merasa diremehkan karena tidak diikutsertakan dalam perang Tabuk dan tidak bisa ikut serta mendapatkan pahala jihad, terlebih beliau selalu ingin melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun Rasulullah mengetahui bahwa perang Tabuk bukanlah peperangan yang besar, oleh sebab itu beliau diperintahkan untuk tetap berada di Madinah Al Munawwarah untuk mentarbiyah (mendidik) jiwa, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Murabbi (pendidik) yang paling mulia dan agung dari semua murabbi. Maka merasa tenanglah sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw setelah mendengar perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau pun kembali ke Madinah Al Munawwarah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama pasukan muslimin terus bergerak menuju Tabuk. Dan saat itu ada salah seorang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, izinkalah aku untuk tidak ikut dalam peperangan agar aku tidak terjebak dalam fitnah karena aku adalah orang yang sangat menyukai wanita cantik, dan di Tabuk banyak wanita cantik sehingga aku tidak tergoda oleh mereka, maka lebih baik aku tidak mengikuti peperangan”, namun sebaliknya dengan alasannya tersebut justru akan menjebaknya dalam fitnah karena memisahkan diri dari pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin. Karena Rasulullah shallallahu wasallam jika mendapatkan seseorang yang berhalangan untuk ikut perang dengan alasan yang dapat diterima maka pastilah beliau mengizinkannya dan Allah juga akan mengizinkannya, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dengan firmanNya. Begitupula ketika kaum munafik berkata kepada sebagian yang lainnya untuk tidak berangkat dalam peperangan itu karena cuaca yang sangat panas, kemudian Allah subhanahu wata’ala memfirmankan ucapan mereka dalam Al qur’an :
فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُوْنَ
( التوبة : 81 )
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: Api neraka Jahanam itu lebih sangat panas (nya)", jika mereka mengetahui.” ( QS. At Taubah : 81 )
Maka diantara orang-orang munafik itu ada yang bertobat dan ada juga yang tetap di tempatnya dan tidak mengikuti peperangan. Dan dalam sirah Ibn Hisham disebutkan bahwa ada diantara kaum munafik yang menginap di suatu tempat dan membicarakan keberangkatan ke Tabuk kemudian di pagi harinya didapati tubuh mereka telah hangus dan tidak seorang pun dari mereka yang masih hidup. Kemudian ada beberapa orang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ingin mengikuti perang tabuk namun tidak memiliki kendaraan, sedangkan semua tunggangan yang ada sudah ada yang menungganginya, maka Rasulullah tidak mengizinkan mereka dan bersumpah bahwa mereka tidak akan bisa ikut dalam perang Tabuk. Maka mereka merasa sangat sedih dan menangis, dan ketika itu datanglah beberapa orang yang membawa hewan tunggangan baru, kemudian Rasulullah mengkafarti sumpahnya dan mengizinkan mereka untuk ikut dalam perang Tabuk, dan ketika itu berubahlah wajah sang nabi menjadi cerah yang tadinya juga merasa sedih karena tidak bisa membawa mereka ikut serta dalam perang Tabuk. Di tengah perjalanan Abu Khaitsamah menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan muslimin, dimana ketika itu beliau pergi ke luar Madinah dan setelah kembali ke Madinah beliau mendapati Madinah sepi dari para kaum lelaki, yang ada hanyalah kaum wanita dan anak-anak, dan di saat itu istri Abu Khaitsamah telah menyambut kepulangannya dengan menyirami tanah dengan air kemudian menutupinya dengan tikar agar terasa sejuk, dan juga telah menyiapkan makanan dan minuman untuk menyambut suaminya akan datang, maka setelah tiba di depan rumah ia berkata : “Disini akan kudapati tempat yang sejuk serta makanan dan minuman telah disiapkan, sedangkan di saat ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di bawah panas matahari dalam keadaan haus dan lapar, demi Allah aku tidak akan masuk ke dalam rumah ini”, kemudian ia berkata kepada istrinya : “siapkan untukku perbekalan untuk aku menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan kaum muslimin”, kemudian beliau pun menyusul pasukan Rasulullah dan kaum muslimin menuju Tabuk. Di tengah perjalanan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan sedang beristirahat, salah seorang berkata : “ Wahai Rasulullah, ada seseorang yang menunggangi kuda datang menuju kesini”, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “ (jadilah) orang yang datang itu adalah Abu Khaitsamah”, dan ternyata benar orang itu adalah beliau. Kemudian beliau meminta maaf akan keterlambatannya karena beliau tidak mengetahui hal tersebut, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun ridha dan mendoakannya dengan kebaikan. Beberapa saat terdengar ucapan diantara orang-orang yang ada dalam perjalanan ke Tabuk “mengapa si fulan tidak ikut”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas berkata : “Biarkanlah mereka, jika Allah menghendaki maka mereka akan berangkat dan jika Allah tidak menghendaki maka mereka tidak akan berangkat”.Setelah beberapa waktu dan mereka sedang beristirahat, terlihat dari kejauhan seseorang yang sedang berjalan kaki dengan membawa barang-barang di punggungya, maka salah seorang berkata : “Wahai Rasulullah, ada seseorang berjalan kaki menuju kesini”, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “(jadilah) orang yang datang itu adalah Abu Dzar Al Ghifari”, dan ternyata benar yang datang adalah sayyidna Abu Dzar, dimana keledai beliau sudah sangat lemah sehingga ia berjalan kaki dan memikul barang-barangnya serta menuntun keledainya, karena tidak ingin membebani keledainya yang sudah sangat tua dan lemah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
رَحِمَ اللهُ أَبَا ذَرِّ يَمْشِيْ وَحْدَهُ وَيَمُوْتُ وَحْدَهُ وَيُبْعَثُ وَحْدَهُ
“ Semoga Allah melimpahkan rahmatNya untuk Abu Dzar yang berjalan sendirian, dan akan wafat dalam keadaan sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian”
Suatu hari ketika sedang bermalam di suatu tempat, tunggangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hilang, dan ketika itu banyak golongan orang munafik yang juga ikut dalam perang Tabuk yang mana mereka hanya menginginkan harta yang akan didapatkan dari pasukan Romawi jika kaum muslimin mengalahkan mereka, maka diantara orang munafik itu ada yang berkata : “Bukankah ia nabi dan mendapatkan wahyu dari langit, tapi mengapa hewan tunggangannya hilang namun ia tidak tau dimana tunggangannya berada”, dan ketika itu sayyidina Umarah yang mendengar ucapan tersebut lantas pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Aku tidak mengetahui sesutu kecuali sesuatu yang telah diberitaukan oleh Allah, dan ontaku saat ini terjebak di sebuah pepohonan di suatu tempat”.Maka Abu Umarah marah terhadap temannya yang munafik itu yang ikut satu tunggangan bersamanya, lalu Abu Umarh berkata kepadanya : “Mulai saat ini engkau jangan ikut bersamaku, kembali saja ke Madinah”. Kemudian perjalanan dilanjutkan, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berhadapan dengan sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja Yohana, dimana raja itu beragama Nasrani dan menolak untuk masuk Islam namun tetap ingin menjalin hubungan baik dengan Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Jika engkau tidak ingin berperang karena kami akan menuju Tabuk, maka engkau harus membayar Jizyah (pajak bagi orang non muslim)”, sehingga masalah Jizyah ini oleh orang-orang yang ingin mengadu domba antara ummat Islam dan orang non muslim, dengan mengatakan bahwa kekejaman ummat Islam adalah mengharuskan kaum non muslim untuk membayar Jizyah, padahal Jizyah adalah sebagaimana pajak yang harus dibayar oleh orang-orang non muslim yang mampu, dan uang tersebut dipergunakan untuk membayar pasukan untuk menjaga mereka, dan jumlah Jizyah jauh lebih sedikit daripada zakat. Maka raja Yohana memilih untuk membayar Jizyah, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menulis perjanjian kepada raja Yohana, diantara perjanjian itu adalah adalah :
سُفُنُهُمْ وَسَيَّارَاتِهِمْ فِي اْلبَرِّ وَاْلبَحْرِ لَهُمْ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ
“ Kapal-kapal dan kendaraan/tunggangan mereka yang ada di daratan atau di lautan berada dalamdzimmah ( jaminan) Allah dan Muhammad rasulullah”
Karena mereka telah membayar Jizyah, maka berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membayar para pasukan dari uang Jizyah yang mereka berikan untuk melindungi diri mereka dan harta mereka, sungguh indah akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang-orang non muslim yang tidak memerangi Islam dan mau untuk membayar Jizyah. Sehingga disebutkan bahwa bagi mereka (non muslim) ada jaminan (penjagaan) Allah dan RasulNya. Kemudian di suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sayyidina Khalid bin Walid untuk menemui raja Ukaidar di wilayah dekat dengan Tabuk, dan diberitahukan kepada beliau bahwa raja itu akan keluar dengan dua atau tiga orang saja, kemudian memerintah untuk menangkapnya. Lalu sayyidina Khalid bin Walid bersama beberapa pasukan keluar menuruni benteng dan mendekati istana raja Ukaidar, dan ketika itu beliau mendapati raja Ukaidar sedang keluar dan dalam keadaan kebingungan. Raja Ukaidar adalah orang yang suka menangkap kerbau-kerbau buas, tiba-tiba di saat itu kerbau-kerbau itu banyak yang keluar maka ia pun keluar dari istana dengan kebingungan, di saat itu ditangkaplah ia dan dilepaslah jubahnya dan dibawa kehadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika melihat pakaian raja Ukaidar yang terbuat dari sutera dan tenunan dari benang-benang emas, para sahabat pun merasa takjub karena belum pernah menemui pakaian seindah itu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Apakah kalian merasa takjub dengan keindahan pakaian raja Ukaidar ini!?, sungguh sapu tangan Sa’ad bin Muadz jauh lebih indah dan lebih berharga daripada pakaian raja Ukaidar ”. Kemudian raja Ukaidar pun membayar Jizyah dan tidak lama kemudian ia pun masuk Islam, akan tetapi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat ia murtad (kembali pada agamanya), sehingga ia diperangi dan meningga di masa sayyidina Abu Bakr As Shiddiq Ra. Di tempat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pasukan berdiam sampai 10 hari namun pasukan Romawi tidak juga tiba, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan mengarah untuk kembali ke Madinah Al Munawwarah, dalam perjalanan beliau dan kaum muslimin membangun 17 Masjid diantara Tabuk dan Madinah Al Munawwarah. Sesampainya di Madinah, sayyidina Ka’ab bin Malik datang terengah-engah dengan menagis menghadap Rasulullah dan berkata : “Wahai Rasulullah, maafkan aku karena tidak ikut berangkat bersama kalian ke Tabuk”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata bahwa beliau belum bisa memberi jawaban apakah taubatnya diterima oleh Allah sebelum ada perintah dari Allah subhanahu wata’ala, di saat itu ada 3 orang sahabat yang tidak ikut dalam perjalanan ke Tabuk, mereka adalah sayyidina Sa’ad Ibn Malik, Murarah bin Rabi’ah dan Hilal bin Umayyah, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
( التوبة : 118 )
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”. ( QS. At Taubah : 118 )
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada 3 orang tersebut jika mereka ingin bertobat maka seluruh kaum Muslimin di Madinah tidak boleh ada seseorang pun yang mengajak berbicara dengan mereka kecuali hanya diantara 3 orang tersebut, sebagai hukuman untuk mereka sampai ada perintah dari Allah yang memutuskan bahwa tobat mereka diterima oleh Allah. Maka dengan keadaan tersebut mereka mereka merasa tersiksa dan hal itu pun berlanjut hingga 30 hari, dan di hari ke 40 turun perintah yang lebih keras dari Allah yaitu untuk berpisah dengan istri dan keluarganya dan tidak boleh berjumpa dengan mereka, kemudian di hari yang ke 50 turunlah wahyu dari Allah subhanahu wata’ala bahwa Allah menerima tobat ketiga orang tersebut, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil mereka, kemudian mereka mencium tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dalam riwayat lain beliau mencium lutut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena gembira, maka kejadian ini juga merupakan dalil dari beberapa dalil yang ada akan diperbolehkannya mencium tangan.
Selanjutnya kita bersalam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kalimat talqin dan doa penutup oleh Al Habib Hud bin Muhammad Baqir Al Atthas, yataffaddhal masykuraa.

Ditulis Oleh: Munzir Almusawa   
Tuesday, 05 June 2012